Rabu, 16 April 2014

Marhaenisme



IMPLEMENTASI PERKEMBANGAN IDEOLOGI MARHAENISME DI INDONESIA TAHUN 1927 – 1961


Oleh:
Cerelya Farah Madha(120731435940)
Debby Ananto Wahyu P (120731435930)
Decky Andika P (120731435935)
Erick Syahrul A(120731435959)
M. Nur Hidayat(120731435956)
Saikhotun Ni’mah (120731400273)
(Pendidikan Sejarah/B)


Abstrak:Dalam berdirinya sebuah bangsa pastilah dilatar belakangi oleh sebuah ideologi yang mencerminkan jiwa dari bangsa tersebut. Pada abad 19 munculah ideologi marhaenisme yang dicetus oleh Bung Karno, sebagai penggagas awal ideologi tersebut. Marhaenisme merupakan ideologi marxisme yang telah disesuaikan dengan keadaan masyarakat Indonesia yang mayoritas adalah petani. Perjuagan untuk membebaskan dari penjajahan dan mendirikan negara yang merdeka dengan ideologi marhaenisme ini diadaptasi oleh partai PNI dan Partindo sebagai organisai yang berhaluan sosio-demokrasi, dan sosio-nasionalis.

Kata Kunci: Ideologi, Marhaenisme
Banyak pendapat yang mengemukakan tentang pengertian idiologi. Secara umum ideologi berarti kumpulan ide atau gagasan, pemahaman-pemahaman, pendapat-pendapat, atau pengalaman-pengalaman. Banyak sakali macam dari idiologi yang ada di dunia. Salah satu idiologi yang di kemukakan oleh Ir. Soekarno adalah Marhaenisme. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Marhaenisme adalah paham yg bertujuan memperjuangkan nasib kaum kecil untuk mendapatkan kebahagiaan hidup: ideologi politik yg tumbuh dan berkembang di Indonesia berdasarkan keadaan dan keinginan masyarakat Indonesia dng asas sosionasional, sosiodemokrasi, gotong royong, kebangsaan, kemerdekaan beragama, dan kerakyatan. Yang artinya Marhaenisme adalah idiologi yang ada di Indonesia yang mementingkan nasib dari kaum keci untuk mendapatkan kebahagiaan hidup yang berasaskan sosionasionalis, sosiodemokrasi, gotong royong, kebangsaan, kemerdekaan beragama, dan kerakyatan.

Dr. Soekarno (6 Juni 1901 – 21 Juni 1970) merupakan tokoh intelektual Indonesia, yang sepanjang hidupnya selalu berusaha merealisasikan obsesinya untuk mewujudkan sebuah negara Indonesia yang bercirikan sosialis. Sedari muda, Soekarno sudah aktif dalam kegiatan-kegiatan yang berbau politik, dimulai dengan membuat kelompok studi hingga mendirikan partai politik. (Wibowo, 2005 : 11)
Marhaenisme berawal dari pertemuan Bung karno dengan seorang petani Gurem yang bernama Marhaen. Pertemuan Soekarno dengan Marhaen merupakan pertemuan penting yang menimbulkan munculnya paham Marhaen. Dalam paham Marhaenisme ini Seokarno lebih mementingkan kepentingan kaum Marhaen atau kepentingan rakyat kecil. Perjuangan Marhaenisme adalah perjuangan mewujudkan sosio-nasionalisme dan sosio-demokratisi menuju kesejahteraan seluruh bangsa

Perkembangan Awal Marhaenisme
            Kolonialisme yang cukup lama dilakukan oleh bangsa barat kepada Indonesia menyebabkan terjadinya banyak kejadian yang melahirkan beberapa metode perjuangan. Marhaenisme merupakan salah satu dari kondes perjuangan tersebut. Keberadaan paham politik yang bernama Marhaenisme tak lepas dari sang pencetusnya yakni, Ir.Soekarno. Dengan sikapnya yang tegas terhadap pemerintah Kolonial Belanda maka, akan membedakannya dengan tokoh pergerakan nasional lainnya. Para pemimpin pergerakan nasional memiliki konsep perjuangan sendiri- sendiri, mulai dari yang berkonsep keagamaan, kedaerahan, komunisme dan nasionalisme. Sedangkan Ir.Soekarno lebih memilih ideologi politik yang disebut Sosionasionalisme. “Dalam tulisannya di Surat Kabar “Fikiran Ra’jat” tahun 1932, Soekarno telah mengintroduksikan teori sosio nasionalismenya yaitu bahwa sosio nasionalisme itu adalah nasionalisme masyarakat yang timbul dari keadaan- keadaan yang nyata di dalam masyarakat”. ( Wibowo Sigit Yulianto. 2005;12).
            Pernyataan di atas memberikan suatu kesimpulan bahwa Marhaenisme ini adalah suatu paham politik yang didapatkan Soekarno dari aspirasi masyarakat yang pada saat itu mengalami penindasan yang seharusnya tidak mereka dapatkan. Sedangkan asal usul nama Marhaenisme sendiri berasal dari nama seorang petani bernama Marhaen yang pernah ditemuinya di daerah Cigerelereng Bandung Selatan. Marhaen ini berprofesi sebagai seorang petani yang selalu mengalami penindasan oleh Kolonialisme Belanda. Marhaen merupakan wujud dari masyarakat Indnesia yang menderita akibat penjajahan Belanda. Hal tersebut memberikan inspirasi kepada Soekarno atas situasi dan kondisi Indonesia di bawah kekuasaan Kolonialisme Belanda. Sebelum memunculkan ideologi politik Marhaenisme tentunya Soekarno sudah mempelajari tentang Marxisme yang juga merupakan dasar pemikiran dari terbentuknya Marhaenisme. Soekarno menggunakan ideologi marxisme dalam berbagai pendekatan untuk membantunya dalam menganalisis situasi dan kondisi masyarakat Indonesia yang mengalami penjajahan Belanda serta mancari solusi, strategi mencapai kemerdekaan Indonesia.
            Dalam menghadapi Belanda, Soekarno menggabungkan tiga ideologi yang berkembang pada saat itu: Islam, Nasionalisme dan Komunisme yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Nasakom. Tiga ideologi tersebut sangat memdominasi hampir semua pemikirannya. “ Dengan menengok revolusi Bolshevik 1917 di Rusia, yang menghantarkann kemenganan kaum Bolshevikdi bawah pimpinan Vladimir Illich Lenin, telah mengilhami Soekarno bahwa persatuan rakyat terutama rakyat melarat merupakan senjata paling ampuh untuk melawan segala macam regim yang menindas hak- hak rakyat. Termasuk pula di sini adalah regim kolonialisme dan imperialisme Belanda (Soekarno, 1964; 249).
            Keberadaam Marxisme sebagai salah satu ideologi sangat berperan dalam terbetuknya Marhaenisme. Terutama setelah masuknya komunisme yang dibawa oleh Sneevliet yakni seorang Belanda yang dulunya sebagai pemimpin organisasi buruh angkutan dan anggota Social Democratische Arbeinders Partij (SDAP) ke Indonesia. “ Pada abad 19 akhir dan memasuki abad 20 memang terjadi suatu perubahan radikal dalam tatanan ideologi politik dunia yang banyak diwarnai dengan menonjolnya kekuatan ideologi komunis. Di Indonesia sendiri (dulu masih Hindia Belanda ajaran komunisme mulai masuk sekitar tahuun 1913, menjelang pecah Perang Dunia I, yang dibawa oleh H.J.F.M Sneevliet” (Wibowo Sigit Yulianto, 2005;16). Setelah sampai di Indonesia, ia adalah seorang anggota staf redaksi warta perdagangan milik para sindikat perusahaan gula di Jawa Timur yang bernama Soerabajasche Hendelsblad. Setelah itu ia bekerja di Semarang sebagai sekretaris pada Semarangsche Hendels Vereninging, dan pada saat yang bersamaan sudah terbentuk organisasi buruh kereta api atau Vereninging van Spoor en Tramsweg Personel (VTSP).
            Sneevliet menjadi tokoh yang berpengaruh pada organisasi VTSP, dan membawa VTSP ke arah yang radikal untuk menyebarkan ajaran marxismenya. Kemudian Sneevliet mendirikann organisasi komunis pertama di Asia Tenggara yang bernama Indische Social Democratische Vereninging (ISDV). Dengan melakukan pemberontakan kepada pemerintah Belanda menjadikan Sneevliet semakin dikenal di Indoensia terutama orang pribumi. Ajaran ini semakin tersebar dan akhirnya berpengaruh pada organisasi Sarikat Islam yang selanjutnya pecah menjadi dua pada tahun 1917 menjadi Sarikat Islam Merah dan Sarekat Islam Putih. Sejak saat itulah banyak lahir organisasi yang memilih Marxisme sebagai ideologi mereka. Pada tanggal 4 Juli 1927 Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesia yang bertujuan untuk kemerdekaan Indonesia. “ Karena PNI diduga melakukan pemberontakan pada awal tahun 1930, maka pada tanggal 24 Desember 1929 Soekarno, Soepradinata, Gatot Mangkupradja dan Maskun ditahan oleh pemerintah Belanda. Soekarno dijatuhi hukuman 4 tahun penjara, namun karena mendapat keringanan pada bulan Desember 1931 ia sudah dibebaskan”( Susanto Tirtoprodjo, 1984;60).
            PNI mengalami perpecahan akibat adanya perbedaan politik antar pemimpinnya yang kemudian menjadikan PNI menjadi dua partai yakni, Partindo yang didirikan oleh Mr.Sartono kemudian diserahkan kepada Soekarno dan PNI Baru yang dipelopori oleh Sutan Syahrir. Pada masa Partido inilah Marhaenisme mendapat tempat. Dimana dalam suatu konferensinya tahun 1933 di kota Mataram, Partindo telah mengambil keputusan tentang marhaen dan marhaenisme. 

Bagaimana Penerapan Ideologi Marhaenis dalam PNI dan Partindo
            Marhaenisme merupakan ideologi yang diciptakan Soekarno dengan tujuan untuk menamakant rakyat yang sengsara bahkan miskin. Orang yang dapat disebut marhaenis yang kita tahu adalah orang yang memiliki sesuatau yang dapat menghasilkan atau menghidupi keluarganya, namun yang menjadi sumber pendapatan tersebut tidak menjadi milikya sendiri atau bahkan bukan miliknya sendiri. Sehingga adapat dianalogikan seorang petani yang memiliki lahan atau sawah yang kecil, namun petani tersebut tidak menjadi pemilik tanah sawah tersebut seutuhnya karena sebagian dari sawah tersebut telah manjadi milik orang karena hutang atau petani tersebut tidak memilikinya tanah seutuhnya. Dengan hasil pertanian yang cuma cukup untuk menghidupi keluarganya atau bahkan kurang namun karena kebutuhan petani tidak hanya untuk pertanian sebagai keperluan sekunder (ekstern) sebagai pemenuhan kebutuhan hidup atau makan keluarga dari hasil pertanian sehingga menjadi kebutuhan primer (intern). Sehingga peran dari sawah dan hasil dari sawah tersebutlah menjadi penting bagi petani “marhaen”.
            Jika dikaitkan dengan ideologi Marhaenis aplikasinya tampak samar-sama, atau kabur. Karena ada dasarnya menurut Ruslan Abdulgani, bahwa Soekarno sering mengidentifikasikan marhaenisme sebagai marxisme yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia. sehingga mendapatkan penafsiran bahwa marhaenisme merupakan ideologi turunan dari marxisme yang kemudian di bawa ke Indonesia dan mengalami transformasi sesuai dengan kondisi Indonesia pada saat itu. Tetapi lebih kepada bahwa ada perbedaan yang tipis antara keduanya, sehingga adanya perbedaan walaupun mungkin terinspirasi dengan marxis.
            Jika dilihat dari versi munculnya ideologi marhaenisme ada dua yang selama ini mungkin kita dengar atau baca dari buku, yaitu untuk yang pertama adalah bertemunya dengan seorang petani di sebuah desa di pelosok Jawa Barat yang memiliki nama Marhaen, dengan kehidupan yang sengsara dan tidak sejahtera dengan apa yang telah dihasilkan dari pertaniannya. Untuk versi selanjutnya bahwa Marhaenisme merupakan implementasi dari ideologi Marx, Hegel, dan Engels, yang kemudian karena berhaluan sosialis itu cocok dengan keadan masyarakat Indonesia maka disesuaikan dengan kondisi Indonesia.
            Pengaruh dari ideologi marhaenis ini sangatlah tampak pada partai politik yang diketuai oleh Soekarno sendiri, yaitu PNI. Terbentknya PNI oleh sebab menampung dan menyalurkan hasrat dan inspirasi rakyat karena kolonialisme Belanda yang kian merenggut kemerdekaan masyarakat pribumi. Dengan adanya keinginan untuk membebaskan masyarakat dari belenggu penjajahan maka terbentuknya PNI dengan ideologi “Nasakom”
            PNI melakukan diskusi bersama angota-anggota, mengenai fenomena sosial yang ada menjadi bahan perbincangan yang menjadi topik dengan mencari pemecahan dari masalah yang didiskusikan. Sehingga dari peran PNI yang mensosial mendapat apresiasi positif dari masyarakat sehingga mendapatkan posisi dan pengarauh baik pula. Sukses yang dicapai ini dalam waktu yang singkat juga berkat filsafat PNI yaitu marhaenisme (Poesponegoro, 2008: 370).
            Dampak positif yang dibawa oleh PNI merupakan sebuah gagasan awal dari sebuah ideologi yang diterapkan dalam tubuh PNI yang beraliran nasionalis, islamisme, dan marxis, dimana marxisme yang di identikkan dengan marhaenis yang menjadi pusat pengerak dari PNI. Tetapi pengerak bukan dalam artian bahwa anggota dari PNI adalan kaum marhaen tetapi, menjadi nyawa atau berjuang untuk kaum yang tidak berdaya. Namun mendapat habatan ketika pemerintah Hindia Belanda mencurigai bahwa PNI akan melakukan pemberontakan sehingga dilakukan penagkapan terhadap para petinggi partai PNI yang didalamnya ada Soekarno sebagai ketua partai tersebut.
            Sehigga PNI pecah menjadi dua yaitu Partindo dan PNI Baru, partindo melanjutkan perjuangan dengan ideologi marhaenisme yang kemudian mendapatkan apresiasi positif. di Dalam buku Soekarno yang kemudian dikutip oleh Wibowo, bahwa diadakannya konfrensi pada tahun 1933 di kota Mataram, tentang keputusan Partindo mengilhami marhaen dan marhaenisme sebagai menyimpulkan bahwa, tujuan marhaenisme yaitu untuk meperjuangkan kaum proletar dan kaum yang melarat, serta marhaen merupakan sebutan bagi kaum proletar dan rakyat yang melarat. Serta marhainisme memiliki tujuan untuk membentuk susunan masyarakat dan negeri dengan perjuangan yang revolusioner. Serta menghendaki penghapusan kapitalis dan imperialis.
            Memperjuangkan kaum melarat merupakan hal yang sangat mulia, sehingga pokok dari partai politik yang bebasis nasionalis sangatlah paham dengan kesengsaraan rakyat yang terzolimi baik secara fisik maupun non fisik. Sehingga wajar pula jika marhaenis menjadi ideology yang dapat diterima oleh masyarakat karena azaz yang memperjuangkan rakyat kecil dan kaum proletar. Serta disamping itu dalam PNI sendiri memppunyai tujuan untuk mendirikan sebuah negara yang merdeka, sehingga tujuan untuk mensejahterakan mayarakat dapat tercapai. Menurut Marx dan Engels, negara merupakan tak lain bukan hanya mesin yang dipakai oleh satu kelas untuk menindas kelas lain (Budiarjo, 2001: 86).
            Hal tersebut dapat dipahami, bahwa penguasa merupakan seorang yang menguasai baik wilayah dalam hal ini negara dan orang atau rakyat. Terjadinya ketimpangan antara aplikasi dari pemimpin barat (Eropa) dan Asia Barat yang khususnya Indonesia. Keadaan dan situasi sosial dan politik antara kedua benua pastilah berbeda. Dimana untuk kawasan wilayah Eropa peimpin khususnya untuk dari kaum proletar yang semula dari kelas tengan yang kemudian menjadi pemimpin, mempunyai ambisi untuk menguasai wajar jika pendapat Engels seperti itu. Namun jika berbalik dengan kondisi Indonesia yang masih dalam penjajahan, rupanya tujuan utama yaitu mendirikan negara yang merdeka dengan mayoritas rakyat kaum agrarian. Sehingga penguasaan tidaklah menjadi hal yang sangat penting. Presiden yaitu Soekarno memperjuangkan kaum yang disebutnya “marhaen”.
            Lepas setelah berdirinya sebuah begara yang bernama Indonesia, organisasi yang bernafaskan nasionalis bermunculan. Organisasi yang berhaluan nasionalis yang menjadikan marhaenisme sebagai ideologi diantaranya ialah Gerakan Mahasiswa Marhaenis (GMM) berpusat di Jogjakarta, Gerakan Mahasiswa Merdeka (GMM) berpusat di Surabaya, dan Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia berpusat di Jakarta. Namun organisasi tersebut fusi menjadi satu dengan nama Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Organisasi ini adalah sebuah gerakan mahasiswa yang berlandaskan ajaran Marhaenisme, yang berdiri pada tanggal 22 Maret 1954. GMNI menjadi sayap politik bagi PNI karena peran dari organisasi ini yang dianggap sebagai masa intelektual yang memiliki peran dan fungsi yang lebih dari pada rakyat biasah. Sehingga secara tidak langsung organisasi ini menjadi kaki tangan yang mempunyai nilai plus dengan ideologi yang sama.
Pengaruh  Marhaenisme
            Marhaenisme yang merupakan suatu teori tentang kemasyarakatan dan kenegaraan yang dilahirkan oleh Soekarno tidak lepas dari adanya pengaruh Marxisme. Sebagai pengikut Marxis, sudah sewajarnya jika tingkah laku dan ajaran Soekarno banyak mendapatkan inspirasi dan bercirikan Marxis. Marhaenisme Soekarno kemudian berpengaruh dan memberikan dampak kedalam partai-partai politik kebangsaan yang berasakan Marhaenisme. Partai-partai tersebut yakni Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Kedaulatan Rakyat dan Partai Indonesia (Partindo).
1.      Partai Nasional Indonesia (PNI)
            “Dasar PNI, ialah sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi atau dengan kata lain Marhaenisme” (Dekker Nyoman,1993;42). Partai Nasional Indonesia dalam anggaran dasarnya didalam pasal 2 menyatakan bahwa asas Partai Nasional Indonesia ialah sosio-nasional-demokrasi (Marhaenisme). Didalam keterangan asas tersebut dijelaskan bahwa :
a)      Partai Nasional Indonesia adalah partai rakyat. Asas Partai Nasional Indonesia adalah sosio-nasional-demokrasi (Marhaenisme).
b)      Asas sosio-nasional-demokrasi ialah gabungan dari asas-asas sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Sosio-nasionalisme adalah nasionalisme yang berdasarkan kemasyarakatan. Nasionalisme adalah paham kebangsaan yang tumbuh karena adanya persamaan nasib serta persamaan kepentingan untuk hidup bersama sebagai suatu bangsa. Maka sosio-nasionalisme dalam hubungan internasional mengakui kewajiban bangsa-bangsa untuk bekerja sama menyusun masyarakat bangsa-bangsa sedunia bebas dari penjajahan dan penindasan baik secara ekonomi, politis dan kebudayaan. Sedangkan sosio-demokrasi adalah demokrasi politik, ekonomi dan sosial. Demokrasi politik mengakui hak yang sama bagi tiap warga negara untuk ikut menentukan haluan dan susunan negara. Demokrasi ekonomi mengakui hak tiap orang untuk hidup sama makmurnya dengan yang lain. Dan demokrasi sosial mengakui hak tiap orang untuk mendapat penghargaan yang sama sebagai makhluk sosial.
c)      Sosio-nasional-demokrasi menghendaki didalam politik perjuangan yang bercorak kebangsaan Indonesia dan susunan pemerintahan yang berdasarkan kedaulatan rakyat.
d)     Masyarakat yang dikehendaki Partai Nasional Indonesia adalah masyarakat sosialistis, yaitu masyarakat yang tidak menghendaki adanya hak milik pribadi atas alat-alat produksi yang mengandung kesempatan menindan dan memeras orang lain.
e)      Dalam menjalankan paham demokrasi, Partai Nasional Indonesia menuju ke arah demokrasi yang meliputi seluruh pergaulan hidup dan mewujudkan diri sebagai “partai rakyat” yang berhaluan revolusioner.
f)       Partai Nasional Indonesia menentang kapitalisme karena kapitalisme menimbulkan sifat memeras dan menindas orang lain, dan juga akan menimbulkan imperialisme yang mengakibatkan penjajahan.
g)      Partai Nasional Indonesia juga meletakkan pusat perjuangannya di kalangan rakyat dan bersama-sama rakyat marhaen. Rakyat marhaen ialah rakyat yang paling banyak dan yang paling buruk nasibnya.
2.      Partai Kedaulatan Rakyat
Partai Kedaulatan Rakyat pada mulanya adalah organisasi yang bersifat kedaerahan. Partai ini lahir di Sulawesi dan berdiri pada tanggal 24 November 1946. Tujuan semula dari partai ini adalah menuntut penjelmaan Sulawesi khususnya dan daerah-daerah lain pada umumnya sebagai daerah yang tidak terpisah dari Negara Republik Indonesia berdasarkan kedaulatan rakyat. Pengaruh Marxisme dalam partai ini terlihat dari keterangan asasnya yakni,
·         Kedaulatan rakyat marhaen menjadi dasar dari perjuangan kebangsaan menghendaki paham gotong royong yaitu paham asasi dari kaum marhaen yang terdapat di Indonesia. Perjuangan sedunia Marhaenisme menuju kepada terleburnya penjajahan dan penindasan dalam segala hal.
·         Untuk mencapai maksudnya, maka Kedaulatan Rakyat marhaen menuntut suatu pemerintahan kerakyatan sebagai satu-satunya bentuk pemerintahan. Karena apabila hanya rakyat marhaen yang merupakan rakyat terbanyak dan yang berdaulat, maka kita akan mencapai suatu negara yang adil dan makmur.
·         Masyarkat gotong royong yang dikehendaki Marhaenisme adalah masyarkat sosialis yang sesuai dengan jiwa rakyat marhaen di Indonesia dan tidak bertentangan dengan sifat ketimuran kita.
3.      Partai Indonesia (Partindo)
            Uraian tentang Marhaenisme secara rinci dijelaskan oleh Partindo dalam sembilan tesis Marhaenismenya, yang dihasilkan dari konferensi partai pada tahun 1933 di Yogyakarta. Sembilan tesis tersebut di kemudian hari juga dijadikan pedoman oleh Partindo yang didirikan pada akhir tahun 1950-an oleh pendirinya Asmara Hadi. Sembilan tesis tersebut antara lain :
1.      Marhaenisme, yaitu sosio nasionalisme dan sosio demokrasi.
2.      Marhaen, yaitu kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia yang lain- lain.
3.      Partindo memakai perkataan marhaen dan tidak proletar, oleh karena perkataan proletar sudah termaktub dalam perkataan marhaen, dan oleh karena perkataan proletar itu bisa juga diartikan bahwa kaum tani dan lain- lain kaum yang melarat tidak termaktub di dalamnya.
4.      Karena Partindo berkeyakinan, bahwa di dalam perjuangan, kaum melarat Indonesia lain- lain itu yang harus menjadi elemen- elemennya (bagian- bagiannya), maka Partindo memakai perkataan marhaen itu.
5.      Di dalam perjuangan marhaen itu maka Partindo berkeyakinan, bahwa kaum proletar mengambil bagian yang besar sekali.
6.      Marhaenisme adalah azaz- azaz yang menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang didalam segala halnya menyelamatkan marhaen.
7.      Marhaenisme adalah pula cara perjuangan untuk mencapai susunan masyarakat dan susunan negeri yang demikian itu, yang oleh karenanya, harus suatu cara perjuangan yang revolusioner.
8.      Jadi Marhaenisme adalah: cara perjuagan dan azaz yang menghendaki hilangnya tiap- tiap kapitalisme dan imperialisme...
9.      Marhaenis adalah tiap- tiap orang bangsa Indonesia yang menjalankan Marhanisme. (Soekarno, 1964; 253).
            Antara sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi keduanya tidak dapat dipisahkan, artinya perjuangan untuk melaksanakan Marhaenisme terjadi melalui dua fase. Fase pertama yakni sosio-nasionalisme berlaku pada zaman penjajahan sedangkan fase kedua yakni sosio-demokrasi berlaku pada zaman setelah Indonesia merdeka. Untuk membangun masyarakat marhaen, Partindo menyadari fungsi dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Parlemen sebagai forum untuk memperjuangkan undang-undang dan peraturan pemerintah yang menguntungkan kaum marhaen. Karena Partindo berkeyakinan bahwa Marhaenisme adalah Marxisme yang diterapkan di Indonesia, maka sebagai Marxisme diperlukan syarat mutlak bagi Marhaenisme yaitu adanya perjuangan kelas.
            Dari ketiga partai yang berasaskan Marhaenisme tersebut dapat dilihat persamaan-persamaan dalam merumuskan gambaran masyarakat marhaenis yang mereka cita-citakan. Persamaan-persamaan tersebut antara lain yaitu :
1.      Cita-cita untuk membentuk masyarakat sosialis Indonesia yang meniadakan sistem kapitalisme dan imperialisme.
2.      Menolak adanya hak milik pribadi atas alat-alat produksi yang vital supaya alat-alat produksi yang vital tersebut dijadikan hak milik negara.
3.      Keinginan agar rakyat marhaen memegang kendali pemerintahan.
4.      Mengusahakan agar ciri-ciri masyarakat marhaenis adalah gotong royong yang artinya tiap orang didalamnya dapat hidup sama makmur dengan yang lain.
5.      Mengadakan perjuangan nasional menentang kapitalisme dan imperialisme, perjuangan tersebut merupakan perjuangan dunia rakyat marhaen agar masyarakat bangsa-bangsa di dunia bebas dari penjajahan dan penindasan dalam segala hal.
            Pada garis besarnya, untuk mewujudkan tujuan politik marhaenisme, Soekarno telah menentukan prasyarat-prasyarat utama yang harus dilalui rakyat Indonesia terlebih dahulu. Pertama adanya kesadaran kelas dari rakyat Indonesia yang tertindas, yaitu kelas progresif Indonesia yang direpresentasikan oleh sebutan kaum marhaen. Kedua, kelas progresif Indonesia yang disebut kaum marhaen ini haruslah bersifat radikal. Ketiga, tahap selanjutnya yang harus dilakukan oleh kaum marhaen yang radikal ini adlah membuat kekuatan pemaksa yang bertujuan untuk memaksa imperialisme Belanda agar mau menyerahkan kembali kekuasaan yang dia ambil dari tangan-tangan rakyat Indonesia kepada rakyat Indonesia. Ini semua disebabkan karena secara empiris, pihak penjajah tidak akan pernah mau dengan suka rela menyerahkan kekuasaannya kepada pihak yang dijajah. Dan yang keempat, itu semua harus dilakukan dengan praktek politik yang sifatnya non-kooperatif, yang tidak mau bekerja sama dengan pihak imperialisme Belanda. Sifat non-kooperasi inieksistensinya bukan sekedar sebagai pola perjuangan atau taktik perjuangan saja, melainkan sudah menjadi prinsip dasar perjuangan yang tidak dapat ditawar lagi (Wibowo, 2005:65).

Kesimpulan
 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Marhaenisme adalah paham yg bertujuan memperjuangkan nasib kaum kecil untuk mendapatkan kebahagiaan hidup: ideologi politik yg tumbuh dan berkembang di Indonesia berdasarkan keadaan dan keinginan masyarakat Indonesia dng asas sosionasional, sosiodemokrasi, gotong royong, kebangsaan, kemerdekaan beragama, dan kerakyatan. Yang artinya Marhaenisme adalah idiologi yang ada di Indonesia yang mementingkan nasib dari kaum keci untuk mendapatkan kebahagiaan hidup yang berasaskan sosionasionalis, sosiodemokrasi, gotong royong, kebangsaan, kemerdekaan beragama, dan kerakyatan.
            Pengaruh dari Ideologi Marhaenisme terdapat pada organisasi pergerakan nasional yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Kedaulatan Rakyat, dan Partai Indonesia (Partindo). Ketiga partai tersebut mengilhami bahwa ideoogi marhaenisme merupakan nafas dari langkah organisasi tersebut yang tentu saja dengan hakikat untuk membela rakyat kecil dan kaum proletar.
            Dalam aplikasnya bahwa marhaenisme lahir menjadi ideologi sosio-demokrasi dan sosio- nasionalisme dengan arah untuk membentuk negara baru lepas dari belenggu penjajahan. Organisasi yang berhaluan nasionalis yang menjadikan marhaenisme sebagai ideologi diantaranya Gerakan Mahasiswa Marhaenis (GMM) berpusat di Jogjakarta, Gerakan Mahasiswa Merdeka (GMM) berpusat di Surabaya, dan Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia berpusat di Jakarta.

Daftar Rujukan


Adams, Cindy. 1984. Bung Karno Penyabung Lidah Rakyat. Jakarta: Gunung Agung.
Abdulgani, Ruslan. 1957. Negara dan Dasar Negara. Jakarta: Endang.
Budiardjo, Miriam. 2001. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Dekker Nyoman,1993. Sejarah Pergerakan Nasional indonesia. Malang; Penerbit IKIP Malang.
Poesponegoro, M.D, dkk. 2008. Sejarah Nasional Indonesia V: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda. Jakarta: Balai Pustaka.
Soekarno, 1964. Di Bawah Bendera Revolusi I. Jakarta: Panitia Penerbitan Buku Dibawah Bendera Revolusi.
Tirtoprodjo, Susanto, 1984. Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia. Jakarta: Pembangunan.
Wibowo, S.Y. 2005. Marhaenisme Ideologi Perjuangan Soekarno. Yogyakarta: Buana Pustaka.

Kamis, 10 April 2014

Pan Islamisme



PERKEMBANGAN PEMIKIAN PAN ISLAMISME DAN IMPLIKASINYA DI INDONESIA


Oleh: 
Athoi Muhammad 
Fika Eka P. 
Fariz Fahruzi 
Galuh Fajri K. 
Poni Novita S. 
Saidah Nuraini H. 




Abstrak
            Abad ke-19 hingga abad ke-20 merupakan suatu momentum dimana umat Islam memasuki suatu gerbong baru, gerbang pembaharuan. Fase ini kerap disebut sebagai abad modernisme, suatu abad dimana umat diperhadapkan dengan kenyataan bahwa bangsa Barat jauh mengungguli mereka. Keadaan ini membuat berbagai respon bermunculan, berbagai kalangan Islam merespon dengan cara yang berbeda-beda berdasarkan pada corak keislaman mereka. Ada yang merespon dengan sikap akomodatif dan mengakui bahwa memang umat sedang terpuruk dan harus mengikuti bangsa Barat agar dapat bangkit dari keterpurukan itu. Ada pula yang merespon dengan menolak apapun yang datang dari Barat sebab mereka beranggapan bahwa itu di luar Islam. Kalangan ini meyakini Islamlah yang terbaik dan umat harus kembali pada dasar-dasar wahyu, kalangan ini kerap disebut dengan kaum revitalis.Berbagai nama tokoh pun segera tampil dalam ingatan ketika disebutkan tentang abad modernisme Islam yang ditandai dengan dominasi Eropa ini. Dominasi Eropa atas dunia Islam, khususnya di bidang politik dan pemikiran ini ditanggapi dengan beragam cara sehingga melahirkan kalangan modernis dan fundamentalis. Modernisme cenderung akomodatif terhadap ide Barat meskipun kemudian mengembangkan sendiri ide-ide tersebut, sedangkan fundamentalisme menganggap apa-apa yang datang dari Barat adalah bukan berasal dari Islam dan tak layak untuk diambil. Fundamentalisme merupakan suatu paham yang lahir atau besar setelah fase modernisme.Berbicara abad pembaharuan dalam Islam, maka tak lepas dari seorang tokoh yang merupakan sosok penting dalam pembaharuan Islam, Al-Afghani, seorang pembaharu yang memiliki keunikan, kekhasan, dan misterinya sendiri. Berangkat dari pembagian corak keislaman di atas, Afghani menempati posisi yang unik dalam menanggapi dominasi Barat terhadap Islam. Pemikiran daeri Afghani ini disebut sebagai aliran Pan Islamisme. Di satu sisi, Afghani sangat moderat dengan mengakomodasi ide-ide yang datang dari Barat, ini dilakukannya demi memperbaiki kemerosotan umat. Namun di lain sisi, Afghani tampil begitu keras ketika itu.Pada makalah ini  kami akan paparkan sedikit tentang pemikiran, kiprah politik, serta perkembangan dari Pan Islamisme itu sendiri.

Kata kunci: Pan Islamisme, Jamaluddin Al Afghani, Politik Islam

a.      Pembahasan

Riwayat Hidup Jamaluddin Al Afghani
            Nama lengkapnya adalah Sayyid Jamaluddin Al-Afghani bin Shafdar Al-Husaini yang lahir pada tahun 1853 M di As’adabat dekat kota Kunar yang termasuk kawasan distrik Kabul bagian timur Afghanistan. Ayahnya bernama Shafdar Al-Husaini, seorang bangsawan terhormat dan mempunyai nasab sampai ke Ali bin Abi Thalib dari jalur At-Tirmidzi, seorang perawi hadits yang termasyur.
Di masa kecilnya Al-Afghani pindah ke kota Kabul beserta keluarganya. Sejak masa kecilnya telah nampak pada diri Al-Afghani kecerdasan dan kemauan yang besar untuk menggali pengetahuan. Dalam usia delapan tahun ia mulai belajar disiplin ilmu dan menguasai beberapa ilmu, diantaranya Al-Quran, bahasa Arab, hadits, fiqih, ilmu kalam, politik, sejarah, musik dan termasuk ilmu-ilmu eksak. Dalam rangka menambah wawasan pengetahuannya, Al-Afghani melanjutkan studi ke India dan menetap disana selama satu tahun untuk belajar pengetahuan-pengetahuan Barat dab metodologinya serta bahasa Inggris. Tahun 1857 ia menunaikan ibadah haji ke Mekah dan sekembalinya di Afghanistan, ia diangkat menjadi pembantu pangeran Dost Muhammad Khan.
Pada tahun 1864, Al-Afghani menjadi penasehat Sher Ali Khan dan pada masa Muhammad Azzam Khan menjadi perdana menteri. Karena terjadinya konflik dalam negeri Afghanistan, ia kembali menuju India untuk kedua kalinya pada tahun 1869. Saat itu India jatuh ke tangan Inggris, oleh karenanya ia memutuskan untuk menuju Mesir pada tahun 1871. Di Mesir ia sempat berkenalan dengan kalangan ulama Al-Azhar dan memberikan kuliah. Selanjutnya Al-Afghani pergi ke Turki dan diangkat sebagai anggota Majelis Pendidikan Turki dan sering diundang untuk menyampaian ceramah di Aya Shofia dan Masjid Sultan Ahmad.
Karena keberadaaannya yang dianggap membahayakan posisi kepala pemerintahan, timbullah fitnah yang dilancarkan oleh Hasan Fahmi Syaikh Al-Islam dengan mengatakan bahwa ceramah-ceramah Al-Afghani banyak mengandung unsur penghinaan terhadap kenabian. Dengan alasan ingin menunaikan haji, maka Al-Afghani meninggalkan Turki dan kemudian menetap di Mesir hingga tahun 1879. Pada masa inilah ide pemikiran dan aktivitas memberikan pengaruh yang besar terhadap dunia Islam khususnya Mesir.
Al-Afghan telah mengunjungi beberapa kota di Eropa bahkan menetap di sana. Tahun 1882 berada di London, lalu satu tahun kemudian ke Paris, dan kembali lagi menetap di London tahun 1885. Selanjutnya ke Teheran, ke Moscow tahun 1887, ke Jerman dan akhirnya kembali lagi ke Teheran. Pengamanan merantau inilah yang kemudian membentuk wawasan berfikirnya yang luas, bebas dan demokratis yang tentunya telah banyak melahirkan banyak murid asli didikan dan binaan yang dilakukan Al-Afghani yang mewarnai sejarah pemikiran di dunia Islam. Akhirnya pada tahun 1897 ia wafat di Istanbul karena sakit.

Pemikiran Jamaluddin Al Afghani Mengenai Pan Islamisme
            Semua orang sepakat bahwa dialah yang menginspirasi gerakan Islam modern dan mengilhami pembaharuan di kalangan kaum Muslim yang hidup di tengah-tengah kemodernan. Dia pula yang pengaruhnya amat besar terhadap gerakan-gerakan pembebasan dan konstitusional yang dilakukan di negara-negara Islam setelah zamannya. Ia menggabungkan ilmu-ilmu tradisional Islamnya dengan berbagai ilmu pengetahuan yang diperolehnya dari Eropa dan pengetahuan modern. Semua usahanya dicurahkan untuk menerbitkan makalah-makalah politik yang membangkitkan semangat, khususnya yang termuat dalam majalah Al-Urwah al-Wutsqa. Ia telah membangkitkan gerakan yang berskala nasional dan gerakan jamaah Islam.
Afghani mengembangkan pemikiran (dan gerakan) salafiyah, yakni aliran keagamaan yang berpendirian bahwa untuk dapat memulihkan kejayaannya, umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang masih murni seperti yang dahulu diamalkan oleh generasi pertama Islam, yang juga biasa disebut salaf (pendahulu) yang saleh. Sebenarnya Afghani bukanlah pemikir Islam pertama yang mempelopori aliran salafiyah (revivalis). Ibnu Taymiyah telah mengajarkan teori yang serupa, begitu pula Syeikh Mohammad Abdul Wahab pada abad ke-18.
Dalam rangka usaha pemurnian akidah dan ajaran Islam, serta pengembalian keutuhan umat Islam, Afghani menganjurkan pembentukan suatu ikatan politik yang mempersatukan seluruh umat Islam (Jami’ah islamiyah) atau Pan Islamisme. Menurut Afghani, asosiasi politik itu harus meliputi seluruh umat Islam dari segala penjuru dunia Islam, baik yang hidup dalam negara-negara yang merdeka, termasuk Persia, maupun mereka yang masih merupakan rakyat jajahan. Ikatan tersebut, yang didasarkan atas solidaritas akidah Islam, bertujuan membina kesetiakawanan dan persatuan umat Islam dalam perjuangan :
a)      Menentang tiap sistem pemerintahan yang dispotik atau sewenang-wenang, dan menggantikannya dengan sistem pemerintahan yang berdasarkan musyawarah seperti yang diajarkan Islam, hal mana juga berarti menentang sistem pemerintahan Utsmaniyah yang absolut.
b)      Menentang kolonialisme dan dominasi Barat, yang berakibat pada mundurnya umat maupun negara yang berlandaskan Islam (Habib, 2003 : 112).
Menurut Afghani, dalam ikatan itu eksistensi dan kemandirian masing-masing negara anggota tetap diakui dan dihormati, sedangkan kedudukan para kepala negaranya, apa pun gelarnya, tetap sama dan sederajat antara satu dengan yang lain, tanpa ada satu pun dari mereka yang lebih ditinggikan
Afghani mendiagnose penyebab kemunduran di dunia Islam, adalah tidak adanya keadilan dan syura (dewan) serta tidak setianya pemerintah pada konstitusi dikarenakan pemerintahan yang sewenang-wenang (despotik), inilah alasan mengapa pemikir di negara-negara Islam di timur tidak bisa mencerahkan masyarakat tentang inti sari dan kebaikan dari pemerintah republik. Pemerintahan republik, merupakan sumber dari kebahagiaan dan kebanggaan. Mereka yang diatur oleh pemerintah republik sendirilah yang layak untuk disebut manusia; karena suatu manusia yang sesungguhnya hanya diatur oleh hukum yang didasari oleh keadilan dan mengatur gerakan, tindakan, transaksi dan hubungan dengan orang lain yang dapat  mengangkat masyarakat ke puncak kebahagiaan. Bagi Afghani, pemerintah rakyat adalah “pemerintahan yang terbatas”, pemerintahan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, dan karenanya merupakan lawan dari pemerintahan absolut. Merupakan suatu pemerintah yang berkonsultasidalam mengatur, membebaskan dari beban yang diletakkan pemerintahan despotik dan mengangkat dari keadaan membusuk ke tingkat kesempurnaan.
Reformasi atau pembaharuan dalam bidang politik yang hendak diperjuangkan oleh salafiyah (baru) di negara-negara Islam adalah pelaksanaan ajaran Islam tentang musyawarah melalui dewan-dewan konstitusi dan badan-badan perwakilan (rakyat), pembatasan terhadap kekuasaan dan kewenangan pemerintah dengan konstitusi dan undang-undang, serta pengerahan kekuatan dan potensi rakyat untuk mendukung reformasi politik dan sekaligus untuk membebaskan dunia Islam dari penjajahan dominasi Barat.
Menurut Afghani, melalui Pan Islamisme merupakan cara terbaik dan paling efektif untuk mencapai tujuan-tujuan, diantaranya adalah melalui revolusi yang didasarkan atas kekuatan rakyat, jika perlu dengan pertumpahan darah. Ia mengatakan bahwa kalau memang ada sejumlah hal yang harus direbut dan tidak ditunggu untuk diterima sebagai hadiah atau anugerah, maka kebebasan kemerdekaan merupakan dua hal tersebut.
Tujuan utama gerakan Pan Islamisme ialah menyatukan pendapat semua negara-negara Islam dibawah satu kekhalifahan, untuk mendirikan sebuah imperium Islam yang kuat dan mampu berhadapan dengan campur tangan bangsa Eropa. Ia ingin membangunkan kesadaran mereka akan kejayaan Islam pada masa lampau yang menjadi kuat karena bersatu. Menyadarkan bahwa kelemahan umat Islam sekarang ini karena mereka terpecah belah (Hardirdjo, 1998 : 38).
Afghani berusaha menghimpun kembali kekuatan dunia Islam yang tercecer. Ia yakin bahwa kebangkitan Islam merupakan tanggungjawab kaum Muslim, bukan tanggungjawab Sang Pencipta. Masa depan kaum Muslim tidak akan mulia kecuali jika mereka menjadikan diri mereka sendiri sebagai orang besar. Mereka harus bangkit dan menyingkirkan kelalaian. Mereka harus tau realitas, melepaskan diri dari kepasrahan. Ia menjelaskan kebobrokan umat Islam, dan menerangkan bahwa dunia Islam sedang terancam. Ancamannya datang dari Barat yang memiliki kekuatan dinamis. Pan Islamisme mengajak umat Islam untuk melakukan perbaikan secara internal, menumbuhkan kekuatan untuk bertahan dan mengadopsi buah peradaban Barat, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengembalikan kejayaan Islam. Barat harus dihadapi karena dialah yang mengancamIslam. Cara menghadapinya adalah dengan menirunya dalam hal-hal positif, selain aturan kebebasan dan demokrasinya.
Afghani adalah pembaharu muslim pertama yang menggunakan term Islam dan Barat sebagai dua fenomena yang selalu bertentangan. Sebuah pertentangan yang justru harus dijadikan patokan berpikir kaum muslim, yaitu untuk membebaskan kaum muslim dari ketakutan dan eksploitasi yang dilakukan oleh orang-orang Eropa.
Pengaruh embrio dari pemikiran Jamaluddin Al Afghani mengenai konsep Pan Islamisme ternyata banyak melahirkan ataupun menginspirasi gerakan-gerakan fundamentalisme islam. Sebuah gerakan keagamaan dan politik yang mengatasnamakan “islam”. Namun sebenarnya wajah islam sendiri warna-warni. Sebuah kerahmatan karena perbedaan. Oleh mereka, wajah islam sekuat mungkin ataupun dengan jalan kekerasan perlu diseragamkan menjadi satu wajah tunggal. Lalu menurut Saidi[11] ada beberapa karakteristik dari kaum fundamentalis yang diantaranya :
1.      Penafsiran yang bersifat represif atas gagasan Tuhan. Mereka menolak kemungkinan “demokratisasi” interpretasi teks-teks Tuhan tetapi menganjurkan penafsirasn absolutis.
2.      Penyatuan antara agama dan negara. Perwujudan konsep ini adalah pemerintahan teokrasi.
3.      Penolakan atas dominasi simbol-simbol modern dan barat.
4.      Penafsiran yang besrifat literal-skriptual serta menolak historisisme-rasionalisme.
5.      Pan Islamisme. Manifestasi lain dari gagasan untuk menghidupkan kembali konsep pemerintahan Pan Islamisme di mana pemeluk islam didefinisikan dalam satu kesatuan ummah. Angan-angan ke arah satu kekhalifahan islam merupakan perwujudan dari ide-ide ini.
Kaitan pemikiran Afghani dengan pembelajaran sejarah
            Pemikiran Afghani ini tentu berkaitan dengan pembelajaran sejarah. Salah satunya yaitu ada sebagian kaum islam yang masih merasa bentuk penjajahan tersamar dari cengkraman bangsa barat meskipun negaranya sudah merdeka. Dominasi barat dalam segala lini begitu kentara. Hingga pemerintahan yang berkuasa ikut “dikendalikan” oleh barat. Dengan latar belakang ini, tidak mengherankan jika kaum fundamentalis islam mulai bergerak menyuarakan aspirasinya menyikapi hal yang terjadi. Mereka berseru agar kaum islam bersatu dan melawan penjajah ( Pan Islamisme ). Untuk beberapa kasus kaum fundamentalis ( Hizbut Tahrir Indonesia ), bahkan mereka berseru untuk melawan pemerintahan yang sah karena kafir. Dikatakan kafir karena roda pemerintahan dan bentuk negara yang dijalankan tidak berasaskan islam. Meskipun Jamaluddin tidak mengharuskan suatu bentuk negara dari semangat Pan Islamisme, oleh beberapa kaum fundamentalis, umat islam harus disatukan dalam bentuk pemerintahan tunggal. Pemetintahan dan bentuk negara yang dimaksud adalah Khilafah dengan seorang Khalifah sebagai pemimpin tertinggi negara. Lagi-lagi ini hanyalah bentuk angan-angan bahkan (menurut kami) adalah suatu utopia belaka.
            Artinya bahwa pemikiran Afghani ini memberikan suatu dampak yang baik bagi pembelajaran sejarah dimana pemikiran ini memberikan gambaran kepada kita tentang arti kemerdekaan yang seharusnya kita terima sebagai hak kita. Hal ini mengingat bahwa akhir-akhir ini telah terjadi penjajahan secara samar dengan salah satu bentuknya yaitu dominasi para bangsa barat. Semangat Pan Islamisme yang ditelurkan oleh Jamaluddin tidaklah pernah surut. Selagi masih ada negara-negara yang dijajah secara tersamar oleh barat maka semangat ini akan terus membara. Khususnya bagi kaum fundamentalis, ini adalah agenda politik mereka dalam mewujudkan bentuk negara islam ( idealnya mereka ). Pergerakan mereka akan terus-menerus merongrong. Bagi kaum fundamentalis radikal, mereka akan menempuh jalan kekerasan meskipun dengan alasan tujuannya akan baik. Bagi kalangan fundamentalis moderat, mereka akan mengikuti aturan main yang ada ( demokrasi ). Mereka menyelinap dengan pergerakan yang lihai hingga masuk dalam struktur pemeritahan yang ada. Setelah berhasi masuk, sedikit demi sedikit mereka akan merubah hukum yang ada sehingga nuansa islam ( islam pemahaman mereka ) begitu kental. Tidak hanya itu, pergerakan kaum moderat juga dengan “lincahnya“ membangun basis-basis gerakan dari bawah. Dengan basis gerakan dari bawah yang persebarannya terus meluas, mereka mewacanakan bentuk negara islam. Hingga wacana itu akan berbuah menjadi opini publik umat islam yang apirasinya minta didengarkan oleh pemerintah. Pada akhirnya, tuntutan dan aspirasi yang begitu besar dari kaum islam untuk membentuk negara islam direalisasikan oleh negara.  
b.      Penutup
            Semangat yang digagas oleh Jamaluddin adalah suatu semangat yang mengawali kegiatan-kegiatan pemberontakan negara timur kepada bangsa Eropa yang menjajah urusan pemerintahan negara timur. Ia menggunakan cara-cara dan pendekatan-pendekatan seperti syiar syiar , dialog , dan tulisan tulisan. Ia mengajarkan cara menulis dan menanamkansifat untuk berani berpendapat sasaran utamanya para pemuda.para pemuda ini diangga sebagia agen kebangkitan nasional kegiatan jamaluddin pun berhasil untuk menghasut kebangkitan untuk melawan eropa di tanah Mesir dan semenjak itu menjadi titik awal pengaruh jamaluddin di dunia timur lainnya.
            Pemikiran Afghani ini tentu berkaitan dengan pembelajaran sejarah. Salah satunya yaitu ada sebagian kaum islam yang masih merasa bentuk penjajahan tersamar dari cengkraman bangsa barat meskipun negaranya sudah merdeka. Dominasi barat dalam segala lini begitu kentara. Hingga pemerintahan yang berkuasa ikut “dikendalikan” oleh barat. Artinya bahwa pemikiran Afghani ini memberikan suatu dampak yang baik bagi pembelajaran sejarah dimana pemikiran ini memberikan gambaran kepada kita tentang arti kemerdekaan yang seharusnya kita terima sebagai hak kita.




DAFTAR RUJUKAN

Soeripto, Habib. 2003. PolitikDalamPandangan Islam.Jakarta :RajawaliPutera.
Hardirdjo, Ari. 1998. PerkembanganIdeologi Di Abad Ke 20. Jakarta : PT Gramedia.
Ali, Mukti. Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah. Jakarta:Djambatan.        1995
Mubarak, Zaki. Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan Pemikiran dan Prospek Demokrasi. Jakarta: LP3ES. 2008
Roy,Oliver. Gagalnya Islam Politik. Jakarta: Serambi. 1996